Ada desakan riuh yang selalu
meyakinkan jika batin ini selalu bersama dengan batinmu. Mungkin saja karna kau
telah menaruh batinku di ruang terdalam batinmu sekalipun tanpa seizinkanku.
Yah…kau tak perlu meminta izinku, karna batin ini terlalu rapuh bagi pikatan
batinmu. Mungkin inilah yang di maksud para sufi “perkawinan batin”. Tetap saja
aku selalu tersadar dengan pandanganmu dan belaianmu sekalipun pijakan tanah
kita berbeda. Mungkin mereka para pendahulu yang menjaga kita, sengaja membuat
sebuah ruang untuk batinku dan batinmu bertemu. Ah…..terkadang kutepis untuk
mempercayai hal yang menurut kebanyakan orang di luar nalar. Tapi desakan batin
itu terlalu kuat hingga menggontrol aliran darah di pembuluh venaku. Namun
tetap saja tak ada desakan untuk memiliki, dan memang tak seharusnya saling
memiliki. Karna batin kita bukan lagi dua hal yang terpisah sekalipun berbeda.
Terlampau kuat ruang itu membungkam batin kita, hingga terasa sulit keluar dari
dari ruang perjumpaan dan penyatuan batin kita.
Desakan itulah yang membuatku
berusaha meminta pertolongan pada mereka, agar mengurangi atau bahkan
memisahkan batin kita namun mereka seakan tak merestui perpisahan batin kita.
Kucoba untuk memberontak dan memporak-porandakan ruang perjumpaan itu, namun
ruangnya terlalu kuat dan kokoh yang mungkin tak akan menyamai ruang manapun di
dunia materi. Sesekali mereka berbisik, tak ada cara lagi untuk memisahkan
perkawinan itu. Namun akalku selalu saja ku buat berbisik ulang “bukan tak ada
tapi belum ada”.
Bukan aku tak bahagia dengan
perkawinan itu, namun ada batin lain yang selalu meminta agar batinku bisa
menerimanya. Batin yang selalu memenuhi ruang akalku sekalipun bukan lebih dulu
memikatku. Lalu ku coba menerawang dan mengingat tentang keterikatan itu. Saat
pertama kali ingin menemuinya secara raga, aku singgah pada sebuah ruang materi
yang begitu gelap dan tak mengenal siapapun namun aku merasa dan bahkan batin
ini mendesak jika dia ada dekat denganku. Tapi ku coba menepis dan melanjutkan
perjalanan hingga aku tiba di ruang materi dimana raga dan batin lain yang
menunggu. Raga yang tiba-tiba memenuhi kepala dan membuatku terdesak untuk
memikatnya, tak hanya memikatnya namun untuk memilikinya. Desakan yang
mengharuskan dia yang memilikiku. Namun perjumpaan raga kami malam itu tetap
menyisakan rindu di ruang batinku tentang ketidakberadaan kekasih batinku.
Sampai waktu bergulir dan tibalah ia di ruang materi itu, mata kami lalu
bertatap sejenak, lalu gemuruh pun memenuhi ruang batinku. Tak bahagia, juga
tak sedih namun seakan memberi tanda tentang perjumpaan batin itu.
Lalu akankah bergulir seperti ini
?? tetap saja akalku terus mengontrol agar aku tetap saja bersama raga yang
lain dan biarlah batinku bersama batin yang lain. Aku teringat pada nasehat
seorang nenek bertahun-tahun yang lalu padaku,
“jika suatu saat nanti kau akan
dihadapkan pada dua pilihan, misalnya saja pada 2 buah jeruk manis A dan jeruk
manis B, lalu kau akan memilih yang mana tanpa menyakiti ?”
“akan kupilih jeruk manis A dan
memberi pengertian pada jeruk manis B, alasanku tak memilihnya”
“bukankah itu akan menyakiti
jeruk B ?”
“kalo begitu aku tak perlu
memilih keduanya”
“itu akan lebih parah lagi, karna
kau menyakiti keduanya”
“lalu apa yang harus kulakukan”
“pilihlah keduanya”
“ah….itu tidak akan mungkin karna
diriku dan dunia materi ini hanya bisa di lampaui dengan satu pilihan”
“anakku….kau terlalu asyik dengan
dunia materimu. Pilihlah keduanya, bukankah memiliki tak mesti di alam raga
saja. Kau bisa memiliki buah Jeruk manis A dan di saat bersamaan kau pun bisa
memilih Manisnya Jeruk manis B. kau dapat memilki keduanya _jeruk dan
manisnya_”
Mungkin inilah yang di maksud,
aku bisa memiliki raga yang lain dan sekaligus memiliki batin yang lain. Namun
bukankah itu membuatku bersikap jahat pada batin yang lain, batin yang raganya
telah memenuhi ragaku. Ah…aku terlalu egois jika seperti ini. Diriku seakan
telah menjelma menjadi ketidakrelaan jika harus melepas raga dan batin itu.
Haruskah aku protes pada Tuhan
yang memberiku cara meraih kasih dan sayangnya yang tak seperti kebanyakan
orang ?Salahkah aku ? menyakitikah aku ? dan siapa yang tersakiti, raga itukah
atau batin itu ?. raga yang selalu memenuhi alam pikirku dan tak menempati
ruang sedikitpun di batinku. Batin yang telah menempati ruang dalam batinku
namun tak mampu menempati sedikitpun ruang di alam pikirku. Sesekali aku
berpikir untuk pergi dari keduanya, melintasi ruang dan waktu yang berbeda.
Mencari jarak ribuan kilometer agar aku bisa melepas keterikatan batin dan ragaku
pada mereka. mencari sepaket raga dan batin yang lain ataukah tak akan mencari
lagi. Dan membiarkan batin dan raga ini tanpa kekasih. Yah….mungkin memang harus seperti itu saja.
Biarkan saja kami sama-sama tersakiti, setidak itu ukuran adil bagi kebanyakan
orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar