Senin, 21 April 2014

batin dan ragaku


Ada desakan riuh yang selalu meyakinkan jika batin ini selalu bersama dengan batinmu. Mungkin saja karna kau telah menaruh batinku di ruang terdalam batinmu sekalipun tanpa seizinkanku. Yah…kau tak perlu meminta izinku, karna batin ini terlalu rapuh bagi pikatan batinmu. Mungkin inilah yang di maksud para sufi “perkawinan batin”. Tetap saja aku selalu tersadar dengan pandanganmu dan belaianmu sekalipun pijakan tanah kita berbeda. Mungkin mereka para pendahulu yang menjaga kita, sengaja membuat sebuah ruang untuk batinku dan batinmu bertemu. Ah…..terkadang kutepis untuk mempercayai hal yang menurut kebanyakan orang di luar nalar. Tapi desakan batin itu terlalu kuat hingga menggontrol aliran darah di pembuluh venaku. Namun tetap saja tak ada desakan untuk memiliki, dan memang tak seharusnya saling memiliki. Karna batin kita bukan lagi dua hal yang terpisah sekalipun berbeda. Terlampau kuat ruang itu membungkam batin kita, hingga terasa sulit keluar dari dari ruang perjumpaan dan penyatuan batin kita.
Desakan itulah yang membuatku berusaha meminta pertolongan pada mereka, agar mengurangi atau bahkan memisahkan batin kita namun mereka seakan tak merestui perpisahan batin kita. Kucoba untuk memberontak dan memporak-porandakan ruang perjumpaan itu, namun ruangnya terlalu kuat dan kokoh yang mungkin tak akan menyamai ruang manapun di dunia materi. Sesekali mereka berbisik, tak ada cara lagi untuk memisahkan perkawinan itu. Namun akalku selalu saja ku buat berbisik ulang “bukan tak ada tapi belum ada”.
Bukan aku tak bahagia dengan perkawinan itu, namun ada batin lain yang selalu meminta agar batinku bisa menerimanya. Batin yang selalu memenuhi ruang akalku sekalipun bukan lebih dulu memikatku. Lalu ku coba menerawang dan mengingat tentang keterikatan itu. Saat pertama kali ingin menemuinya secara raga, aku singgah pada sebuah ruang materi yang begitu gelap dan tak mengenal siapapun namun aku merasa dan bahkan batin ini mendesak jika dia ada dekat denganku. Tapi ku coba menepis dan melanjutkan perjalanan hingga aku tiba di ruang materi dimana raga dan batin lain yang menunggu. Raga yang tiba-tiba memenuhi kepala dan membuatku terdesak untuk memikatnya, tak hanya memikatnya namun untuk memilikinya. Desakan yang mengharuskan dia yang memilikiku. Namun perjumpaan raga kami malam itu tetap menyisakan rindu di ruang batinku tentang ketidakberadaan kekasih batinku. Sampai waktu bergulir dan tibalah ia di ruang materi itu, mata kami lalu bertatap sejenak, lalu gemuruh pun memenuhi ruang batinku. Tak bahagia, juga tak sedih namun seakan memberi tanda tentang perjumpaan batin itu.
Lalu akankah bergulir seperti ini ?? tetap saja akalku terus mengontrol agar aku tetap saja bersama raga yang lain dan biarlah batinku bersama batin yang lain. Aku teringat pada nasehat seorang nenek bertahun-tahun yang lalu padaku,
“jika suatu saat nanti kau akan dihadapkan pada dua pilihan, misalnya saja pada 2 buah jeruk manis A dan jeruk manis B, lalu kau akan memilih yang mana tanpa menyakiti ?”
“akan kupilih jeruk manis A dan memberi pengertian pada jeruk manis B, alasanku tak memilihnya”
“bukankah itu akan menyakiti jeruk B ?”
“kalo begitu aku tak perlu memilih keduanya”
“itu akan lebih parah lagi, karna kau menyakiti keduanya”
“lalu apa yang harus kulakukan”
“pilihlah keduanya”
“ah….itu tidak akan mungkin karna diriku dan dunia materi ini hanya bisa di lampaui dengan satu pilihan”
“anakku….kau terlalu asyik dengan dunia materimu. Pilihlah keduanya, bukankah memiliki tak mesti di alam raga saja. Kau bisa memiliki buah Jeruk manis A dan di saat bersamaan kau pun bisa memilih Manisnya Jeruk manis B. kau dapat memilki keduanya _jeruk dan manisnya_”
Mungkin inilah yang di maksud, aku bisa memiliki raga yang lain dan sekaligus memiliki batin yang lain. Namun bukankah itu membuatku bersikap jahat pada batin yang lain, batin yang raganya telah memenuhi ragaku. Ah…aku terlalu egois jika seperti ini. Diriku seakan telah menjelma menjadi ketidakrelaan jika harus melepas raga dan batin itu.
Haruskah aku protes pada Tuhan yang memberiku cara meraih kasih dan sayangnya yang tak seperti kebanyakan orang ?Salahkah aku ? menyakitikah aku ? dan siapa yang tersakiti, raga itukah atau batin itu ?. raga yang selalu memenuhi alam pikirku dan tak menempati ruang sedikitpun di batinku. Batin yang telah menempati ruang dalam batinku namun tak mampu menempati sedikitpun ruang di alam pikirku. Sesekali aku berpikir untuk pergi dari keduanya, melintasi ruang dan waktu yang berbeda. Mencari jarak ribuan kilometer agar aku bisa melepas keterikatan batin dan ragaku pada mereka. mencari sepaket raga dan batin yang lain ataukah tak akan mencari lagi. Dan membiarkan batin dan raga ini tanpa kekasih.  Yah….mungkin memang harus seperti itu saja. Biarkan saja kami sama-sama tersakiti, setidak itu ukuran adil bagi kebanyakan orang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar