Senin, 12 Mei 2014

ukuran kecantikan perempuan


Kecantikan
            Cantik menurut beberapa tradisi suku-suku di dunia memang berbeda. Cantik tidak selalu memiliki persepsi yang sama, bisa saja cantik menurut kita tapi tidak bagi orang lain. Di beberapa tempat di dunia arti kecantikan tidak hanya dari sekedar cantik di wajah, tapi ditentukan oleh cara pandang lingkungan dan adat istiadat. Pandangan kecantikan pada perempuan itu sendiri selalu berkembang dari waktu ke waktu. Karenanya arti cantik buat suatu daerah belum tentu sama dengan daerah lainnya.
Berikut kecantikan perempuan menurut tradisi adat di beberapa tempat :
1.       Suku bagobo








Gigi runcing identik dengan drakula, vampire atau hewan buas. Namun bagi wanita suku Bagobo, memiliki gigi runcing tidak menjadikan mereka seram dan menakutkan, malah justru semakin menambah kecantikan mereka.
Bagi suku di Mindanao, Filipina ini, memiliki gigi tajam adalah suatu keharusan untuk menjadi yang paling cantik.
Untuk mendapatkan gigi ini pun, mereka harus rela kesakitan saat meruncingkan ujung gigi yang dipahat dengan kayu atau bambu.
Prosesnya tidak hanya mengerikan dan menyakitkan, tapi juga sangat lama agar bisa tajam sempurna. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian, bersakit-sakit dahulu, menjadi cantik kemudian.

2.       Suku kayan di Thailand










Suku Kayan terletak di perbatasan antara Burma dan Thailand. Memiliki pandangan sendiri pada kecantikan perempuan. Dikenal dengan sebutan “perempuan leher panjang”. Pandangan mereka mengukur dalam kecantikan seorang perempuan melihat pada jumlah cincin kuningan dikenakan di sekitar leher. Cincin pertama dipasangkan ke leher pada usia 5 tahun, dan terus ditambah setiap tahun hingga membuat leher mereka memanjang. Dikatakan dengan memakai cincin di leher mereka terlihat lebih menarik karena memiliki leher yang jenjang. Para Antropolog menduga persepsi leher jenjang seperti tokoh perempuan naga dalam dongeng suku Kayan.
3.      Suku masai di Kenya











Untuk suku Masai, cantik terletak di telinga! Dengan menindik telinga mereka mengenakan manik-manik yang biasanya menyambung antara telinga dan leher. Dengan duri, ranting batu dan gading gajah adalah alat untuk menindik telinga. Perempuan suku Masai juga mencukur rambut di kepala dan menangggalkan dua gigi tengah atas.

4.      Suku Mursi di Ethiopia














“Kecantikan ada di mata yang melihatnya.” Apa yang orang lihat benar-benar indah, tapi belum tentu sama dengan orang lainnya. Suku Mursi adalah suku nomaden yang mendiami Ethiopia bagian barat daya. Para perempuan suku Mursi terkenal karena menggunakan piring tanah liat di bibir bawahnya. Proses awal biasanya dengan bibir ditindik pada usia 15 tahun dan bertahap dikenakan piring untuk merenggangkan lubang tindikan di bibir bawah, hingga akhirnya bibir bawah muat dengan ukuran piring tanah liat. Dan suku Mursi memandang tindikan di bibirnya sebagai symbol kecantikan seorang perempuan, sebuah kebanggaan dan tanda kematangan seksual.

5.      Suku Indian di Amazon









Perempuan dari suku Indian Amazon menggunakan seluruh tubuh mereka sebagai kanvas kecantikan mereka. Mereka mentato tubuh dan melukis wajah dengan menggunakan tanaman dan darah hewan. Menurut mereka tato akan membuat perempuan makin menarik dan cantik.

6.      Jepang









Perempuan Jepang dikenal berkulit halus putih dan rambut halus berkilau. Rahasianya adalah kotoran burung! Lebih tepatnya, kotoran burung bulbul. Burung yang dikenal dengan melodi yang indah adalah rahasia tua berabad-abad bagaimana perempuan Jepang menjaga kulit dan rambut mereka yang indah. Kotoran burung bulbul adalah serbuk halus dan hampir tidak berbau yang dicampur untuk membentuk pasta, kemudian dikenakan di wajah atau rambut. Seperti wajah seorang Geisha, selalu mengunakan kotoran burung bulbul untuk menghaluskan kulit wajah. Makin putih berarti makin cantik.




7.      Suku di Timur Tengah








Di Timur Tengah, kecantikan tidak selalu diperlihatkan, justru disembunyikan. Berkaitan dengan adat istiadat di Timur Tengah tubuh perempuan ditutup dengan jubah gamis dan cadar. Satunya cara menambah kecantikan adalah dengan menambahkan hiasan indah di cadar, celak di mata dan lukisan dengan henna di tangan.

8.      Suku Maori di Selandia Baru








Orang-orang Maori dari Selandia Baru mempraktekkan ritual kecantikan sakral dengan tato. Orang-orang pribumi, keturunan Polinesia, percaya bahwa perempuan lebih menarik ketika bibir dan dagu yang bertato. Seorang perempuan dengan bibir biru dianggap yang paling indah dan diinginkan. Dan bagian yang paling penting dari kehidupan seorang gadis akan menikah dan memiliki anak, ia akan menerima tato wajah, atau, ‘moko’ sesegera mungkin. Moko juga dianggap pembawa keberuntungan, keturunan, keterampilan khusus dan status perkawinan, juga merupakan cara untuk menarik pasangan.
9.   Suku di Mauritania









Sementara perempuan di dunia Barat akan melakukan apa saja untuk tetap kurus. Sedangkan yang terjadi di Mauritania adalah kebalikannya, seorang perempuan tidak dianggap indah jika dia kurus! Menjadi perempuan gemuk di Mauritania begitu diinginkan orang tua. Hingga para orang tua memberikan anak perempuan berumur 5 dan setua 19 minum hingga lima galon lemak unta atau susu sapi setiap hari hanya untuk menggemukkan mereka! Dan dalam pandangan adat mereka, gemuk berarti cantik dan para lelaki lebih memandang perempuan gemuk lebih sehat dan mampu menghasilkan keturunan banyak.
10.      Suku Dayak di Indonesia







Tak perlu jauh jika ingin melihat sesuatu yang unik di Indonesia. Suku dayak adalah suku yang unik di Indonesia karena memiliki adat istiadat yang berkaitan dengan kecantikan perempuan. Seorang perempuan dayak biasanya menindik telinga dan menggunakan anting logam atau emas yang terus menerus ditambah hingga akhirnya lubang tindikan makin melebar membuat telinga mereka memanjang. Penambahan anting hanya dilakukan setahun sekali, jadi umur perempuan cukup menghitung berapa anting yang dipakainya. Arti telinga panjang buat suku dayak adalah identitas untuk menunjukkan umur seseorang, menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang dan kecantikan, makin panjang telinga makin cantik. Selain itu Tato juga dianggap alat kecantikan juga menjadi tolak ukur status strata seseorang, pekerjaan dan kemampuan seseorang.

11.   Suku Han di China







Satu lagi adat istiadat yang menjadi tolak ukur kecantikan seorang perempuan. Menyakitkan namun telah pernah menjadi keharusan bagi seorang perempuan China. Seorang perempuan China wajib memiliki kaki yang kecil mungil. Karenanya setiap anak perempuan dari kecil sudah harus mengikat kaki, menggunakan teknik modifikasi kaki mereka hingga seukuran 3 inci (7 cm) panjangnya. Hal ini pernah dianggap erotis dan indah. Meskipun praktik ini terutama terbatas pada wanita Han etnis Tionghoa, yang diperkirakan 2 milyar perempuan memiliki kaki mereka terikat dalam abad ke-19 saja. Buat mereka jika memiliki kaki kecil dianggap memiliki kaki seperti lotus, sangat erotis dan cantik serta menandakan status sosial perempuan tersebut. Biasanya keluarga miskin sering mengikat kaki hanya putri tertua mereka agar dapat menikah cepat dan bisa meningkatkan status sosial keluarga di mata masyarakat.

12.  Suku Apatani









Suku Apatani tinggal di lembah Ziro di negara bagian Arunachal Pradesh di India Timur.
Wanita-wanita apatani terkenal sangat cantik dan dianggap yang paling cantik di antara suku Arunachal. Saking cantiknya, mereka harus membuat diri mereka terlihat tidak menarik untuk perlindungan diri dari suku lain yang ingin memperebutkan mereka.
Dari sinilah mereka kemudian memakai Yaping Hillo atau penutup hidung dari colokan kayu besar yang dipasang di hidung mereka. Aksesoris berwarna hitam ini dipakai oleh sebagian besar wanita tua suku tersebut, namun menginjak pertengahan abad ke 20 kebiasaan ini sudah mulai terkikis.

Senin, 21 April 2014

batin dan ragaku


Ada desakan riuh yang selalu meyakinkan jika batin ini selalu bersama dengan batinmu. Mungkin saja karna kau telah menaruh batinku di ruang terdalam batinmu sekalipun tanpa seizinkanku. Yah…kau tak perlu meminta izinku, karna batin ini terlalu rapuh bagi pikatan batinmu. Mungkin inilah yang di maksud para sufi “perkawinan batin”. Tetap saja aku selalu tersadar dengan pandanganmu dan belaianmu sekalipun pijakan tanah kita berbeda. Mungkin mereka para pendahulu yang menjaga kita, sengaja membuat sebuah ruang untuk batinku dan batinmu bertemu. Ah…..terkadang kutepis untuk mempercayai hal yang menurut kebanyakan orang di luar nalar. Tapi desakan batin itu terlalu kuat hingga menggontrol aliran darah di pembuluh venaku. Namun tetap saja tak ada desakan untuk memiliki, dan memang tak seharusnya saling memiliki. Karna batin kita bukan lagi dua hal yang terpisah sekalipun berbeda. Terlampau kuat ruang itu membungkam batin kita, hingga terasa sulit keluar dari dari ruang perjumpaan dan penyatuan batin kita.
Desakan itulah yang membuatku berusaha meminta pertolongan pada mereka, agar mengurangi atau bahkan memisahkan batin kita namun mereka seakan tak merestui perpisahan batin kita. Kucoba untuk memberontak dan memporak-porandakan ruang perjumpaan itu, namun ruangnya terlalu kuat dan kokoh yang mungkin tak akan menyamai ruang manapun di dunia materi. Sesekali mereka berbisik, tak ada cara lagi untuk memisahkan perkawinan itu. Namun akalku selalu saja ku buat berbisik ulang “bukan tak ada tapi belum ada”.
Bukan aku tak bahagia dengan perkawinan itu, namun ada batin lain yang selalu meminta agar batinku bisa menerimanya. Batin yang selalu memenuhi ruang akalku sekalipun bukan lebih dulu memikatku. Lalu ku coba menerawang dan mengingat tentang keterikatan itu. Saat pertama kali ingin menemuinya secara raga, aku singgah pada sebuah ruang materi yang begitu gelap dan tak mengenal siapapun namun aku merasa dan bahkan batin ini mendesak jika dia ada dekat denganku. Tapi ku coba menepis dan melanjutkan perjalanan hingga aku tiba di ruang materi dimana raga dan batin lain yang menunggu. Raga yang tiba-tiba memenuhi kepala dan membuatku terdesak untuk memikatnya, tak hanya memikatnya namun untuk memilikinya. Desakan yang mengharuskan dia yang memilikiku. Namun perjumpaan raga kami malam itu tetap menyisakan rindu di ruang batinku tentang ketidakberadaan kekasih batinku. Sampai waktu bergulir dan tibalah ia di ruang materi itu, mata kami lalu bertatap sejenak, lalu gemuruh pun memenuhi ruang batinku. Tak bahagia, juga tak sedih namun seakan memberi tanda tentang perjumpaan batin itu.
Lalu akankah bergulir seperti ini ?? tetap saja akalku terus mengontrol agar aku tetap saja bersama raga yang lain dan biarlah batinku bersama batin yang lain. Aku teringat pada nasehat seorang nenek bertahun-tahun yang lalu padaku,
“jika suatu saat nanti kau akan dihadapkan pada dua pilihan, misalnya saja pada 2 buah jeruk manis A dan jeruk manis B, lalu kau akan memilih yang mana tanpa menyakiti ?”
“akan kupilih jeruk manis A dan memberi pengertian pada jeruk manis B, alasanku tak memilihnya”
“bukankah itu akan menyakiti jeruk B ?”
“kalo begitu aku tak perlu memilih keduanya”
“itu akan lebih parah lagi, karna kau menyakiti keduanya”
“lalu apa yang harus kulakukan”
“pilihlah keduanya”
“ah….itu tidak akan mungkin karna diriku dan dunia materi ini hanya bisa di lampaui dengan satu pilihan”
“anakku….kau terlalu asyik dengan dunia materimu. Pilihlah keduanya, bukankah memiliki tak mesti di alam raga saja. Kau bisa memiliki buah Jeruk manis A dan di saat bersamaan kau pun bisa memilih Manisnya Jeruk manis B. kau dapat memilki keduanya _jeruk dan manisnya_”
Mungkin inilah yang di maksud, aku bisa memiliki raga yang lain dan sekaligus memiliki batin yang lain. Namun bukankah itu membuatku bersikap jahat pada batin yang lain, batin yang raganya telah memenuhi ragaku. Ah…aku terlalu egois jika seperti ini. Diriku seakan telah menjelma menjadi ketidakrelaan jika harus melepas raga dan batin itu.
Haruskah aku protes pada Tuhan yang memberiku cara meraih kasih dan sayangnya yang tak seperti kebanyakan orang ?Salahkah aku ? menyakitikah aku ? dan siapa yang tersakiti, raga itukah atau batin itu ?. raga yang selalu memenuhi alam pikirku dan tak menempati ruang sedikitpun di batinku. Batin yang telah menempati ruang dalam batinku namun tak mampu menempati sedikitpun ruang di alam pikirku. Sesekali aku berpikir untuk pergi dari keduanya, melintasi ruang dan waktu yang berbeda. Mencari jarak ribuan kilometer agar aku bisa melepas keterikatan batin dan ragaku pada mereka. mencari sepaket raga dan batin yang lain ataukah tak akan mencari lagi. Dan membiarkan batin dan raga ini tanpa kekasih.  Yah….mungkin memang harus seperti itu saja. Biarkan saja kami sama-sama tersakiti, setidak itu ukuran adil bagi kebanyakan orang. 

Kamis, 20 Februari 2014

PEREMPUAN DALAM BINGKAI BUDAYA


 Perempuan dalam perspektif Bugis Makassar
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawito, Sidenreng, dan rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian Darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kebupaten yaitu Luwu, Bone, Soppeng, sidrap, Pinrang, Barru.
Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah BulukumbaSinjaiMaros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Dalam masyarakat bugis Makassar, perempuan di sebut makkunrai (bugis) atau baine (Makassar). Yang mengandung makna tersendiri, yakni
1.            “Makkunrai”
Makkunrai adalah penyebutan orang Bugis terhadap Gender perempuan. Penyebutan “Makkunrai”berasal dari kata”Unre”, yakni sejenis busana rok bawahan yang jika ditambah awalan “ma” dan akhiran “i” sebagai kata kerja, berarti pemakai Rok. Maka bahasa bugis mencitrakan gender tersebut dari sejenis busana yang lazim dipakainya.
2.            Baine’
Orang Makassar lebih membahasakannya dengan lebih “agung” lagi, yakni : Baine yang mendekati kata bine (benih atau cikal bakal), sehingga dapat dimaknai sebagai “asal atau permulaan”.
Namun bagaimanapun perbedaan harfiah dan makna terhadap perempuan bagi kedua suku bangsa terbesar di Sulawesi ini, tetap saja menempatkan perempuan sebagai puncak martabat kemanusiaannya. Bukan sekedar symbol, melainkan merupakan esensi luhur yang menandai derajat dan martabat dalam suatu rumpun keluarga. Sebagai contoh : suatu keluarga dapat dinilai tingkat strata sosialnya ketika anak gadisnya dilamar dengan jumlah mahar (mas kawin) tertentu.



B.   Peran dan Kedudukan perempuan dalam masyarakat bugis Makassar
Kedudukan perempuan dalam masyarakat bugis Makassar sangat dipengaruhi oleh hukum adat yang tak tertulis namun di ajarkan secara turun temurun. Perempuan secara umum di kualifikasikan sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masayarakat. Begitu juga dalam konteks masyarakat bugis Makassar, yaitu:
1.            Perempuan sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat.
Dalam tradisi Bugis, peran perempuan tidak hanya dijadikan simbol kejelitaan atau pengasuh rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Namun jauh sejak masa epos La Galigo mula dikisahkan, Perempuan Bugis sudah ikut mendominasi pranata sosial-budaya dan politik di kerajaan-kerajaan Bugis.
Nenek moyang Bugis yang disebut Tomanurung dikisahkan tidak hanya seorang lelaki bernama Batara Guru, tapi juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita bernama We Nyilik Timo, permaisurinya. We Nyilik Timo juga dipercaya sangat berperan melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pondasi bangunan kebudayaan Bugis awal.
Dalam buku History Of Java (1817) Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis dalam masyarakatnya “The women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” (Perempuan Bugis Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran privacy atau dipekerjakan paksa, sehingga membatasi aktifitas/kesuburan mereka, dibanding yang dialami kaumnya di belahan dunia lain).
Status sosial perempuan Bugis tampaknya cukup tinggi.Hal itu dapat kita lihat baik dalam realitas sosial maupun dalam naskah kuno. Secara sosial kita bisa menyebut  sosok Colliq Pujié, seorang perempuan Bugis yang hidup pada abad ke-19 yang berprofesi sebagai penulis, sastrawan dan juga negarawan. Dalam naskah kuno perempuan Bugis disebut berani (materru') dan bijaksana (malampé' nawa nawa).
Walau begitu, tugas utama dari seorang perempuan Bugis adalah menjadi seorang ibu yang salehah, baik dan tulus (mancaji Indo ana  tettong ridécéngngé, tudang ripacingngé), menjadi penuntun suami yang jujur, hemat dan bijaksana sekaligus mitra pendukung dan penopang dalam mengatasi segala kesulitan maupun perjuangan dalam mengatasi segala hal (Mancaji pattaro tettong rïlempu'é punnai cirinna enrengngé lampu 'Nawa-Nawa mméwai sibaliperri' waroanéna Sappa 'laleng atuong), menjadi kebanggaan ayahnya, saudaranya dan suaminya untuk menjaga kehormatan hidupnya (mancaji 'siatutuiang siri na enrengngé banapatinna ritomatoanna, risiléssureng macoana letih' ga riworoanéna)
Posisi, gelar, dan profesi seorang Ibu sangat dijunjung tinggi dalam tradisi dan budaya Bugis-Makassar. Oleh karena itu seorang ibu harus kemudian menjaga kesucian, kesalehan dan kecerdasannya. Seorang ibu harus selalu meng-update pengetahuannya. Seorang ibu sangat penting untuk membaca dari waktu ke waktu membantu meningkatkan kesadaran dan visi.
Ibu adalah jendela pertama bagi seorang bayi dan menjadi pengontrol bagi suaminya. Ketika bayi lahir, Ibu memainkan peranan penting dalam memperkenalkan bayi kepada dunia. Masa depan anak sangat tergantung pada ibu. Sikap, pandangan dan seluruhnya semua diperoleh sang bayi dari seorang ibu. Seorang ibu yang sempurna akan lebih baik dari seribu guru.
Di sisi suami, seorang perempuan adalah manajer (Pattaro).  Semua hal yang datang dan masuk ke sebuah rumah harus sepengetahuan dan seizin istri. Dalam rumah tangga ia adalah "ratu", menggantikan posisi suami jika sedang tak ada di rumah untuk menjaga diri dan harta benda. Oleh karena itu perempuan Bugis harus juga pandai berhemat, cermat dan mengetahui kebutuhan dan kepentingan rumah tangga. Oleh karena itu perempuan bugis-makassar ketika memutuskan untuk menikah maka seluruh pilihan hidupnya harus dicurahkan sepenuhnya kepada rumah tangga. Setelah itu kemudian baru bisa memilih ruang publik sebagai aktivitas berikutnya, manakala urusan rumah tangganya telah selesai dengan sempurna.

2.          Peran budaya (culturel)
Budaya Bugis-Makassar  tidak  membatasi perempuan untuk berekspresi menjadi pemimpin. Satu di antara perempuan Bugis yang terkenal memperjuangkan kemerdekaan pada masa pemerintahan Belanda adalah Opu Daeng Siradju. Opu Daeng Siradju memperoleh gelar sebagai macan betina dari Timur, terbukti dengan beberapa kali beliau keluar-masuk penjara tetapi dalam dirinya tak sedikit pun rasa gentar terlebih lagi mundur sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Sehingga, dalam ruang-ruang kultural perempuan dan laki-laki Bugis-Makassar terpatri konsep kesejajaran peran dan fungsi. Artinya, walaupun memiliki hak dan kewajiban yang sama, namun tetap terdapat batasan kerja individual yang terbentuk secara fitrawi.
Peran perempuan hebat lainya dapat kita temukan di desa Bontoloe Kab. Gowa perempuan ini di percaya lebih mampu di bandikan sosok seorang laki-laki dalam hal ritual, di Bontoloe, adaq baine selalu menikah dengan  pemangku jabatan tradisional, kecuali karaeng. Adaq baine dari penguasa desa adalah perempuan yang bertanggung jawab terhadap kalompoang dan yang bertugas menyenggarakan ritual yang berkaitan dengan pusaka keramat tersebut, Perempuan dewasa ini bertanggung jawab terhadap pusaka keramat di Bontoloe telah mengembang tugas tersebut sekitar 30 tahun sementara selama periode yang sama karaeng telah di pengang oloh empat orang. Perempuan yang memelihara kalompoang, yang tidak dapat di ganti selama dia masih hidup, menepati jabatan adaq yang tertinggi di desa.Dia di anggap sebagai perwakilan adaq yang paling tinggi, termasuk dalm kepempinan politik dan spiritual, sementara karaeng tidak lebih dari pelaksanaan kekuasaan politik di bawah legitimasi pusaka keramat. Sinong, perempuan tua yang bertugas menjaga kalompoang Bontoloe, adalah orang yang pada saat yang sama di pandang memiliki pengetahuan yang paling mendalam tentang adaq serta kepercayaan tradisional.
Pada umumnya kaum perempuan merupakan “pemeran utama” dalam praktek kepercayaan tradisional sehari-hari. Mereka dianggap ahli dalam bidang itu dan hal itu semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa di beberapa desa, kaum perempuan berperang pula sebagai dukun (sanro). Selama pelaksanaan ritual, kaum perempuan mempersiapkan dan mengatur berbagai jenis persembahan dan memastikan agar seluruh rangkaian upacara dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dalam kepercayaan dan adaq. Selain itu perempuan juga bertanggung jawab terhadap semua unsur “keduniawian” suatu ritual, seperti memasak dan menyajikan hidangan kepada para peserta dari desa tersebut yang nenghadiri upacara, maupun peserta yang datang dari tempat lain. Dalam istilah modern, kita dapat katakan bahwa manajemen kepercayaan tradisional lebih banyak di serahkan kepada kaum perempuan, sedang kaum pria lebih mendominasi pelaksanaan ritualnya, termasuk membakar kemenyan, membacakan mantra (baca-baca), menyucikan sesuatu dengan air atau minyak. Hal itu khususnya terjadi dalam ritual menyangkut hubungan simbolis antara kepercayaan dengan struktur politik komunitas tersebut. Sebaliknya perempuan melaksanakan sebagian besar ritual atau tahapan-tahapan ritual dalam ruang lingkup pribadi atau keluarga, misalnya ritus-ritus daur hidup.

3.            Perempuan sebagai Perantara Penyampaian Tinjaq
Meski agaknya baru muncul relatif lebih belakangan dan masih jarang di temukan, tinjaq kategori ini yang di buat karna ingin memperoleh harta kekayaan atau kemakmuran yang juga berhubungan dengan ‘pola pertukaran’ antara manusia dengan roh ‘penghuni’ pusaka keramat. Munculnya tinjaq seperti itu di sebabkan oleh semakin bertambahnya pola hidup materialistis yang bahkan telah menyusup hingga ke pelosok pedalaman.
Jika dulu perekonomian masyarakat sepenuhnya berlandaskan sistem pertukaran produk makanan serta barang lainnya, dan kesejangan standar kehidupan relatif kecil, maka meningkatnya jumlah saudagar, guru, dan pegawai lainnya yang kondisi keuangannya lebih baik dibanding para petani, sehingga terjadi perubahan fundamental dalam hal sikap mereka terhadap uang dan kekayaan dan material lainnya. Akibatnya janji memberi persembahahan roh penghuni kalompoang bila seseorang dibantu untuk memperbanyak harta kekeyaannya adalah sesuatu yang dianggap biasa. Selanjutnya, pendidikan medern adalah faktor lain yang juga membawa perubahan terhadap isi suatu tinjaq.
Contoh kasus:
Pada usia 18 tahun, Ibrahim tengah bersiap menghadap ujian akhir SMA di Ujungpadang. Dia meminta ibunya, Celo, untuk membawa sesisir pisang ke kalompoang Bontoloe, kampung halaman ibu Celo. Sinong, penjaga pusaka keramat tersebut melakukan ritual di mana Celo membuat tinjaq untuk mempersembahkan empat ekor ayam besar kepada kalompoang jika anaknya dibantu untuk lulus dalam ujian akhir nanti. Selain sinong dan Cole, tidak ada orang lain yang terlibat dalam ritual itu.
Ritual tersebut adalah contah tinjaq yang dibuat secara ‘resmi’ yang tidak dapat ‘dilupakan’ begitu saja seperti halnya tinjaq yang hanya diniatkan dalam hati, karena paling tidak sinong menjadi saksi dibuatnnya dan isi tanjaq tersebut. Tampak jelas posisi perempuan sebagai perantara dengan pusaka keramat: dalam hal ini, bukan ibrahim yang langsung membuat tinjaq di depan kalompoang, namun di wakili oleh ibunya. Setelah lulus ujian akhir, Ibrahim ikut serta dalam ritual yang di lakukan beberapa minggu kemudian untuk menunaikan tinjaq tersebut.

C.           Hukum adat bagi perempuan bugis Makassar
Hukum adat adalah suatu aturan atau norma yang ada di dalam masyarakat yang tidak tertulis namun disepakati secara bersama-sama untuk kemashalatan bersama tanpa memandang kalangan apapun dalam penerapannya dan diturunkan secara turun temurun dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Adapun hukum adat disebut pegadereng, yang terdiri atas:
a.    Ade’ yaitu unsur dari pangadereng yang lebih dikenal dengan kata norma atau adat. Ade’ ini secara khusus terdiri beberapa bagian yaitu :   Ade’ yaitu unsur dari pangadereng yang lebih dikenal dengan kata norma atau adat. Ade’ ini secara khusus terdiri beberapa bagian yaitu :
v  Ade’ akkalibinengen, yaitu adat atau norma mengenai hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan berwujud sebagi kaidah kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam berumah tangga dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat
v  Ade’ tanaatu norma-norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan berwujud sebagai wujud hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan pembinaan insan politik
Untuk pengawasan dan   pembinaan ade dalam masyarakat bugis biasanya dilakasanakan oleh beberapa pejabat adat seperti pakka tenniade’, puang ade’, pampawa ade’, dan parewa ade’.
b.    Bicara adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengenai aktivitiet dan konsep konsep yang tersangkut paut dengan peradilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara, mementukan prosedurnya, serta hak-hak dan kewajiban seorang yang sedang mengajukan kasusnya di muka  pengadilan atau yang mengajukan penggugatan.
c.    Rapang bererti contoh, perumpamaan, kias atau analogi. Sebagai unsur bagian dari pangadereng, rapang menjaga kepastiaan  dan kontiniutet dari suatu kpeutusan hukum tak tertulis dalm masa yang lampau sampai sekarang dengan membuat analogi antara kasus dari masa yang lampau itu dengan kasus yang sedang digarap. Rapang juga berwujud sebagai perumpamaan-perumpamaan yang mengajukan kelakuan ideal dan etika dalam lapangan hidup yang tertentu seperti lapangan kehidupan kekerabatan, lapangan kehidupan berpolitikdan memerintah negara dsb.Selain dari itu rapang juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat ganguanterhadap hak milik serta ancaman terhadap keamanan seorang warga masyarakat.
d.    Wari’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwadan aktivitietnya dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan  tata penempatan hal hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial; untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja dari negara-negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda dalm tata upacara kebesaran.
e.    Sara’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengandung pranata-pranata dan hukum islam dan yang melengkapkan ke empat unsurnya menjadi lima. Sistem religi masyarakat Sulawesi Selatan   sebelum masuknya ajaran islam seperti yang tampak dalm sure’ lagaligo, sebenarnya telah mengandung sutu kepercayaan terhadap dewa yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama seperti patoto-e (maha menentukan nasib), dewata sewwae (dewa yang tunggal), turie’ a’rana(kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan seperti ini masih tampak jelas misalnya beberapa kepercayaan tradisional yang masi bertahan sampai sekarang misalnya pada orang tolotang, di kabupaten sidenreng rappang dan pada orang ammatoa di kajang daerah bulukumba..



D.   Anyyala, Siri’ perempuan bugis Makassar
Annyala dalam terminologi Makassar diartikan sebagai ‘kebersalahan’ atau dalam bahasa gaulnya dapat diartikan ‘nakal’.Namun “Annyala” yang ingin penulis jelaskan disini bukanlah Annyala dalam pengertian umum, tapi Annyala dalam konteks perkawinan atau kebersalahan dalam perkawinan. Biasa kita mendengar ucapan,  atau “anjo baine annyala” (makassar : itu perempuan bersalah), maka yang dimaksudkan dalam kalimat tersebut adalah kebersalahan dalam konteks perkawinan. Karena itu, biasanya pula orang tua kita yang mendengar pernyataan seperti itu, tidak lantas meneruskan pertanyaannya karena sangat sadar bahwa kalimat tersebut didalamnya mengandung konsekuensi rasa malu dan taruhan harga diri (siri’).
Tomasirik adalah orang orang yang merasa dipermalukan ketika kelurganya dari   pihak gadis  yang dibawa lari oleh laki-laki tampa restu darinya. Dalam masyarakat bugis yang disebut to masirik adalah paman dari si perempuan atau saudara laki-laki dari perempuan dan berhak memberikan hukuman kepada anyyala.

Jumat, 27 Desember 2013

Psikologi perempuan dalam perspektif Islam


Seiring dengan pesatnya gerakan feminisme, muncul wacana adanya gugatan terhadap hukum-hukum agama, terutama hukum Islam. Hukum Islam oleh kaum feminis dipandang sebagai salah satu basis yang menjadi akar pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Gugatan tersebut pada gilirannya dialami juga oleh al-Qur’ân sebagai sumber hukum tertinggi dari hukum Islam. Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan perempuan telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak perempuan Islam. Dikesankan bahwa perempuan-perempuan muslimah yang menjaga kehormatan dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah perempuan-perempuan pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan perempuan muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar perempuan bisa maju, harus direposisi ke ruang publik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa modern dewasa ini.
Karena gencarnya arus feminisme tersebut, para pemikir muslim kontemporer kemudian menelaah kembali hukum Islam. Dari penelaahan tersebut akhirnya tersimpulkan bahwa yang salah bukanlah al-Qur’ânnya, akan tetapi penafsiran atasnya lah yang keliru. Mereka pun lalu berusaha untuk menafsirkan ulang ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan dengan perempuan. Dari situlah kemudian muncul berbagai macam produk penafsiran baru yang sangat beragam. Produk-produk tafsir baru ini memang rata-rata sangat emansipatoris, humanis dan populis. Namun sayangnya, penafsiran yang mereka lakukan sering kali tidak ditopang oleh metode dan kaidah penafsiran yang benar sebagaimana yang telah disepakati para ulama. Atau dengan bahasa yang lebih ekstrem, mereka seringkali menyeret maksud al-Qur’ân dari maksudnya yang sebenarnya hanya demi tujuan agar al-Qur’ân bisa tampil populer di era emansipasi ini dan tidak terkesan ketinggalan jaman.
            Akibatnya, bagaimana sebenarnya al-Qur’ân berbicara tentang kedudukan perempuan pun menjadi  kabur. Oleh karena itulah maka perlu kiranya menggali kembali dari ayat-ayat al-Qur’ân yang berbicara tentang perempuan tanpa melupakan kondisi yang ada saat ini dengan mempertimbangkan secara seimbang dan proporsional tiga hal yang sangat penting dalam penafsiran, yaitu teks, konteks (kondisi sosio-kultural pada saat turunnya al-Qur’ân dan masa kini) serta kontekstualisasi.
            Al-Qur’ân sendiri sebenarnya sangat banyak dalam membicarakan perempuan. Perempuan dalam al-Qur’ân diekspresikan dengan kata al-Nisa’al-Zaujahal-Ummal-Bint, al-Untsâ, kata sifat yang disandarkan pada bentuk mu’annats dan berbagai kata ganti (pronoun) yang menunjuk jenis kelamin perempuan. Khusus mengenai kata al-Nisâ, kata ini adalah bentuk jamak dan kata al-Mar’ah yang dalam al-Qur’ân berarti manusia yang berjenis kelamin perempuan (QS al-Nisâ’ [4]: 7) dan istri-istri (QS al-Baqarah [2]: 222). Kata al-Nisâ’ dengan berbagai bentuknya disebutkan dalam al-Qur’ân sebanyak 59 kali. Sehingga jelaslah bahwa al-Qur’ân sebenarnya sangat peduli dengan makhluk bernama perempuan ini.  Lalu bagaimana sebenarnya al-Qur’ân berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam konteks saat ini?

Asal Kejadian Perempuan
Berbicara tentang kedudukan perempuan dalam al-Qur’ân, perlu terlebih dulu mengetahui asal kejadian makhluk bernama perempuan dan hikmah dibalik itu menurut pandangan al-Qur’ân. Hal ini menjadi penting karena penafsiran yang salah atasnya biasanya menjadi pemicu awal anggapan yang rendah terhadap perempuan.
Ayat yang berbicara tentang awal kejadian/penciptaan perempuan adalah firman Allâh dalam surat al-Nisâ’ ayat 1:
“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama) dan darinya Allâh menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allâh memperkembangkan lelaki dan perempuan yang banyak.” (QS al-Ni’â’ [4]: 1)
Tokoh tafsir bi al-Ra’yi, yaitu Imam Zamakhsyari mengartikan kata “nafs” dengan Adam. Begitu juga tokoh tafsir bi al-Ma’tsur, yaitu Ibnu Katsîr dan al-Qurthubi. Para pakar tafsir lain yang mengartikan kata nafs dengan Adam di antaranya adalah Jalaluddin al-Suyuthi, Ibn ‘Abbas, al-Biqa’i, Abu Al-Su’ud, al-Baidhawiy, dan lain-lain. Memang banyak sekali para mufassirin klasik yang berpendapat demikian sehingga tidaklah berlebihan kiranya apabila al-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi’ah (abad 6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam. Bahkan lebih tegas lagi, al-Razy berani mengatakan, seluruh orang Islam sepakat bahwa yang dimaksud oleh kata nafs di sini adalah Adam.
Tentunya pernyataan al-Tabarsi dan al-Razi tersebut adalah berdasarkan pengamatan mereka terhadap ulama tafsir yang hidup sebelum, atau paling tidak sezaman dengan masing-masing keduanya. Meskipun banyak juga mufassir modern yang masih mengikuti pendapat ulama klasik, seperti Wahbah al-Zuhailiy, Muhammad ‘Ali Al-Shabuniy, dan Sa’id Hawwa, namun penilaian keduanya tidak relevan lagi apabila kita berlakukan saat ini, karena ternyata banyak juga para pemikir Islam modern yang tidak berpendapat seperti itu.
Al-Thabaththabâ’i dalam tafsirnya menulis, “Perempuan (Hawa) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung faham sementara mufassir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.” Begitu juga pendapat Rasyid Ridho dalam tafsir al-Manarnya dan rekannya al-Qasimi. Mereka mengartikan kata nafs tidak sebagai Adam, tapi mengartikannya dengan jenis. Artinya, Adam dan Hawa diciptakan dari jenis yang sama, bukannya Hawa diciptakan dari Adam.
Ide penafsiran kata nafs dengan Adam menurut Rasyid Ridho adalah akibat adanya pengaruh dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang mengatakan bahwa ketika Adam tertidur lelap, maka diambil oleh Allâh sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging, maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam tersebut, dibuat Tuhan seorang perempuan. Selanjutnya dia mengatakan, seandainya tidak tercantum kisah kejadian perempuan dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang Muslim.
Pendapat penciptaan perempuan dari tulang rusuk ada agaknya bersumber dari sebuah hadits Nabi,
“Saling berpesanlah untuk berbuat baik pada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.”(HR. Tirmidzi dll.).
Ulama-ulama klasik memahami hadits tersebut secara harfiah sehingga timbul pemahaman seperti itu. Sedangkan para ulama kontemporer banyak yang memahami secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan hadits tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits tesebut berisi peringatan untuk kaum laki-laki agar senantiasa bersikap hati-hati, bijaksana dan tidak kasar dalam menghadapi perempuan karena mereka mempunyai sifat, karakter dan kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki. Kaum laki-laki tidak akan mampu merubah karakter dan sifat bawaan perempuan yang kadang membuat mereka kesal, atau bahkan emosional tersebut. Kalaupun mereka berusaha, maka akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Sebenarnya dalam masalah ini lebih cenderung pada pendapat jumhur ulama. Alasannya adalah, Rasyid Ridho tidak bisa membuktikan secara empiris pengaruh Perjanjian Lama terhadap penafsiran para ulama klasik. Pernyataan Rasyid Ridho bahwa penafsiran terciptanya perempuan dari diri Adam merupakan pengaruh dari “Israiliyyat” (Perjanjian Lama) adalah baru sebatas hipotesa. Pada kenyataannya, tidak satu pun kitab tafsir yang berpendapat demikian menjelaskan bahwa pengartian yang seperti itu bersumber pada cerita ahli kitab atau Perjanjian Lama. Sehingga kalau ternyata sama, menurut hemat penulis, persamaan itu adalah merupakan suatu kebetulan saja.
Seandainya pun dugaan adanya pengaruh Isarailiyyat memang ternyata benar, hal itu tidak menjadi masalah dan tidak menyebabkan penafsiran tersebut tidak layak diikuti. Dalam Ilmu Tafsir, Israiliyyat dibenarkan untuk diadopsi selama tidak bertentangan dengan nash-nash al-Qur’ân dan Sunnah. Pada kenyataannya tak ada satu pun ayat al-Qur’ân yang bertentangan dengan pemahaman terciptanya perempuan dari Adam, justru ada hadits yang mendukungnya apabila dilihat dzôhiril lafdzi-nya.      Perempuan memang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Namun yang perlu ditekankan adalah, jangan sampai penafsiran tersebut mempunyai implikasi anggapan rendah terhadap makhluk bernama perempuan. Karena yang berkembang selama ini, pandangan tersebut seringkali dijadikan legitimasi pandangan minus terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki perempuan tidak pernah ada dan dia diciptakan adalah semata-mata untuk melayani laki-laki.
Faidah diciptakannya perempuan pertama (Hawa) dari laki-laki (Adam) adalah untuk menunjukkan kekuasaan Allâh yang mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari yang hidup dengan tanpa melalui proses reproduksi sebagaimana Dia mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari benda mati. Dengan demikian, Adam diciptakan dari debu, Isa dari perempuan tanpa laki-laki, sedangkan Hawa diciptakan dari laki-laki tanpa perempuan. Allâh berkuasa atas segala sesuatu.
Adapun hikmah dari disebutkannya hal itu dalam surat al-Nisâ’ ayat 1 adalah agar manusia merasa mempunyai persamaan satu sama lain. Manusia berasal dari nasab yang satu, bapak yang satu, yaitu Adam, sehingga sudah seharusnyalah mereka hidup bersaudara, saling tolong-menolong dan mengasihi, bukannya berseteru dan menindas satu sama lain.
Dengan demikian, anggapan rendah terhadap perempuan yang didasarkan pada al-Nisâ’ ayat 1 adalah tidak tepat sama sekali. Diciptakannya perempuan dan laki-laki sama sekali tidak bisa dijadikan legitimasi lebih tingginya derajat kemanusiaan laki-laki atas perempuan, karena al-Qur’ân berkali-kali menegaskan persamaan laki-laki dan perempuan. Dalam surat Ali’Imrân ayat 195 Allâh berfirman, “Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain.”
Maksudnya adalah, laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, begitu juga perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, tak ada kelebihan satu sama lain dalam penilaian iman dan amalnya. Bahkan keduanya akan selalu saling membutuhkan, terutama dalam proses reproduksi untuk mempertahankan eksistensinya mereka. Atas dasar persamaan keduanya dalam kapasitasnya sebagai hamba Allâh itulah Tuhan menegaskan: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik dari laki-laki maupun permpuan).” (QS Ali’Imrân [3]: 195).
Maksud dari ayat-ayat semacam ini tidak lain adalah untuk mengikis habis anggapan bahwa kaum pria adalah superior dan kaum perempuan inferior. Islam memandang kedua jenis kelamin ini dalam posisi yang seimbang karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama derajat kemanusiaannya. Tidak ada kelebihan satu dibanding yang lainnya disebabkan oleh suku, ras, golongan, agama dan jenis kelamin mereka.
Menurut Islam, nilai kemuliaan manusia semata-mata hanya terletak pada ketaqwaannya, sebagaimana firman Allâh, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dai lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurât [49]: 13).
Kedudukan Perempuan Sebelum Islam
Panjang sudah zaman yang dilalui umat manusia yang berdiam di bumi Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ ini. Sekian waktu mereka lalui dalam memakmurkan bumi karena Allâh memang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi-Nya. Dia Yang Maha Tinggi berfirman kepada para malaikat-Nya sebagaimana diabadikan dalam Tanzil-Nya yang mulia:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Manusia pun membangun kehidupan dan peradaban mereka, generasi demi generasi, silih berganti. Namun sejarah mencatat sisi gelap perlakuan mereka terhadap makhluk Allâh yang bernama perempuan. Kesewenang-wenangan dan penindasan mewarnai hari-hari kaum perempuan dalam kegelapan alam jahiliyyah, baik di kalangan bangsa Arab maupun di kalangan ‘ajam (non Arab). Perlakuan jahat dan ketidaksukaan orang-orang jahiliyyah terhadap perempuan ini diabadikan dalam Al-Qur’ânul:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS al-Nahl [16]: 58-59).
وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?” (QS al-Takwîr [81]: 8-9)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullâhu menyatakan bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyyah karena mereka tidak suka dengan anak perempuan. Apabila anak perempuan itu selamat dari tindakan tersebut dan tetap hidup maka ia hidup dalam keadaan dihinakan, ditindas dan didzalimi, tidak diberikan hak waris walaupun si perempuan sangat butuh karena fakirnya. Bahkan justru ia menjadi salah satu benda warisan bagi anak laki-laki suaminya apabila suaminya meninggal dunia. Dan seorang pria dalam adat jahiliyyah berhak menikahi berapa pun perempuan yang diinginkannya tanpa ada batasan dan tanpa memerhatikan hak-hak para istrinya.
Ini kenyataan di kalangan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah, kenyataan buruk yang sama juga terdapat pada bangs-bangsa lain. Kita tengok perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dulunya dikatakan telah memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan perempuan tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Perempuan di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak waris.
Bagi bangsa Yahudi, perempuan adalah makhluk terlaknat karena sebabnyalah Nabi Adam melanggar larangan Allâh hingga dikeluarkan dari surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap ayah si perempuan berhak memperjualbelikan putrinya. Perempuan juga dihinakan oleh para pemeluk agama Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah perempuan; apakah perempuan itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir mereka menyatakan perempuan itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa. Dalam tradisi Yahudi perempuan dianggap sebagai sumber laknat, karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Anehnya, anggapan semacam ini masih banyak orang yang mempercayainya dengan berujar, walaupun terusirnya manusia dari surga adalah takdir, akan tetapi seandainya tidak ada Hawa (perempuan) yang menyebabkan Adam makan buah khuldi, niscaya manusia sampai saat ini tetap berada di surga. Di Hindustan, perempuan dianggap jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan api. Bila seorang suami meninggal dan jenazahnya diperabukan maka si istri yang jelas-jelas masih hidup harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.
Anggapan ini jelas sangat keliru, karena menurut al-Qur’ân, godaan Iblis tidak hanya ditujukan pada perempuan (Hawa) yang kemudian menyebabkan laki-laki (Adam) tergelincir bersamanya. Akan tetapi godaan dan rayuan Iblis itu ditujukan pada keduanya. Hal ini bisa kita lihat misalnya dalm firman Allâh: “Maka Setan membisikkan pikiran jahat pada keduanya.” (QS al-A’râf [7]: 20).
Juga firman Allâh, “Janganlah kalian (Adam dan Hawa) dekati pohon ini” (QS al-Baqarah [2]: 35). Dan di ayat yang lain, “Lalu keduanya digelincirkan oleh Setan dari surga itu.”(QS Al-Baqarah [2]: 36).
Ayat-ayat al-Qur’ân yang membicarakan kisah ini tidak ada yang menggunakan kata ganti perempuan kedua tunggal, akan tetapi menggunakan kata ganti (dhamirtatsniyyah yang berarti menunjuk pada Adam dan Hawa sekaligus, bukan hanya Hawa. Bahkan, dalam ayat yang bercerita tentang kisah ini dengan bentuk kata ganti tunggal, maka ayat tersebut justru menunjuk pada kaum laki-laki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti firman Allâh: “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tak pernah punah?” (QS Thâha [20]: 20).
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’ân yang seperti itu tadi jelas sangat bertentangan dengan anggapan perempuan sebagai sumber petaka. Karena menurut Al-Qur’ân, keduanya sama-sama digoda oleh syaitan, sama-sama tergelincir dan bersama-sama mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Sekali lagi, walaupun  anggapan seperti ini masih dipercayai banyak orang, termasuk orang-orang Islam sendiri, anggapan tersebut adalah merupakan upaya untuk mendiskreditkan perempuan dan sangat bertentangan dengan nash-nash al-Qur’ân. Al-Qur’ân tidak pernah menganggapnya sebagai sumber bencana dan petaka, namun justru berusaha meluruskan pandangan keliru yang terkait dengan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Kodrat Kedudukan Perempuan
Islam datang dengan cahayanya yang menerangi dunia. Kedzaliman terhadap perempuan pun terangkat. Islam menetapkan insaniyyah (kemanusiaan) seorang perempuan layaknya seorang lelaki, di mana Allâh berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan…” (QS al-Hujurât [49]: 13).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً
“Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu, kemudian Dia ciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya. Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS al-Nisâ` [4]: 1).
Sebagaimana perempuan berserikat dengan lelaki dalam memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan. Allâh berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (QS al-Nahl [16]: 97).
Dan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
لِيُعَذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوْبَ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Agar Allâh mengazab orang-orang munafik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, dan orang-orang musyrik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Dan agar Allâh mengampuni orang-orang yang beriman, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan…” (QS al-Ahzâb [33]: 73).
Allâh mengharamkan perempuan dijadikan barang warisan sepeninggal suaminya.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi para perempuan secara paksa.” (QS al-Nisâ`[4]: 19)
Bahkan perempuan dijadikan sebagai salah satu ahli waris dari harta kerabatnya yang meninggal. AllâhSubhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
“Bagi para lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya. Dan bagi para perempuan ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS al-Nisâ` [4]: 7)
Dalam masalah pernikahan, Allâh membatasi laki-laki hanya boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allâh wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya. Firman Allâh:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.” (QS al-Nisâ` [4]: 19).
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ menetapkan adanya mahar dalam pernikahan sebagai hak perempuan yang harus diberikan secara sempurna kecuali bila si perempuan merelakan dengan kelapangan hatinya. Dia Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Dan berikanlah mahar kepada para perempuan yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai sesuatu yang baik.” (QS al-Nisâ` [4]: 4).
Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Rumah Tangga
Perempuan pun dijadikan sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya, sebagai pemimpin atas anak-anaknya. Nabi SAW kabarkan hal ini dalam sabdanya:
الْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Diatas telah dijelaskan bahwa al-Qur’ân menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan pria dalam derajat kemanusiaan. Namun, berdasar pada kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan  keduanya baik yang menyangkut masalah fisik maupun psikis, Islam kemudian membedakan keduanya dalam berapa persoalan, terutama yang menyangkut fungsi dan peran masing-masing. Pembedaan ini dapat dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu dalam kehidupan keluarga dan kehidupan publik. Ayat yang sering kali dijadikan dasar untuk memandang kedudukan masing-masing laki-laki dan perempuan adalah Firman Allâh pada surat al-Nisâ’ [4]: 34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”
Semua ulama sepakat bahwa ayat ini punya daya berlaku dalam konteks keluarga. Perbedaan di antara mereka baru muncul ketika ayat ini dibawa untuk dijadikan legitimasi pembedaan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik. Akan tetapi, kesepakatan mereka dalam mengakui berlakunya ayat ini dalam konteks keluarga tidak kemudian berarti mereka seragam juga dalam menafsirkannya. Para ahli tafsir mengajukan penjelasan yang sangat beraneka ragam terhadap ayat  tersebut.
Ibnu Jarîr Al-Thabâri menjelaskan maksud “qowwâmun” adalah penanggung jawab untuk mendidik dan membimbing istri agar mentaati kewajibannya kepada Allâh dan suami. Ibnu Abbas mengartikan kata “qowwâmun” sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan untuk mendidik perempuan. Dalam tafsir al-kasysyâf, al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan sebagai mana penguasa pada rakyatnya.
Apabila keanekaragaman penafrsiran tersebut kita cermati (baik yang dilakukan oleh mufassirin klasik maupun modern), maka akan kita dapatkan benang merah berupa kelebihan laki-laki atas perempuan dan posisi laki-laki yang berada di atas perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Kelebihan laki-laki atas perempuan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya karena sifat hakikinya dan hukum syara’ yang menetapkan demikian. Sifat hakiki bersumber pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kemampuan. Tidak diragukan lagi bahwa akal dan ilmu laki-laki lebih banyak dan kemampuan laki-laki untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan  yang berat lebih sempurna. Karena dua hal inilah laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan dalam penalaran tekad yang kuat, kekuatan menulis  dan keberanian.
Karena laki-laki lebih potensial dari perempuan, maka dari laki-laki lah lahir para nabi, ulama, dan imam. Mereka berperan dalam jihad, adzan, khotbah, persaksian dalam hudûd dan qishâs. Mereka Juga menerima bagian lebih dalam waris, menjadi wali dalam nikah, menentukan talak, rujuk dan lain sebagainya.
Kelebihan laki-laki atas perempuan karena dua sebab, yaitu fitri dan kasbi, laki-laki sejak penciptaannya sudah diberi kelebihan kekuatan dan kemampuan. Akibat kelebihan sejak penciptaannya, laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan kejernihan pandangan yang menyebabkan adanya kelebihan kasbi sehingga laki-laki mampu berusaha, berinovasi dan kebebasan bergerak. Adapun perempuan dilahirkan sejak penciptaannya diberi fitrah untuk mengandung (hamil), melahirkan dan mendidik anak. Sebab jika perempuan dapat menjalankan fungsinya seperti laki-laki sebagaimana pandangan pertama diatas, fitrah mereka tetap menghalanginya.
Agaknya apa yang diungkapkan oleh para ulama tadi masih dapat kita rasakan relevansinya saat ini. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pemimpin, ilmuwan dan tokoh-tokoh masyarakat masih didominasi oleh kaum pria meskipun jumlah perempuan lebih banyak dari pria. Bahkan di negara-negara seperti Amerika dan Perancis di mana pria-perempuan diberi kesempatan yang sama dalam belajar maupun mengaktualisasikan dirinya pun demikian adanya. Oleh karena itu, anggapan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan hanya karena akibat dari konstruksi budaya yang memang masih mengkondisikan demikian menjadi tidak tepat.
Memang harus juga diakui bahwa ternyata ada beberapa perempuan yang punya kelebihan dari pria. Akan tetapi hal itu sangat bersifat kasuistik dan tidak bisa digeneralisir untuk kemudian ditarik darinya suatu hukum. Karena itulah, Islam menetapkan ketentuan berdasarkan pada lazimnya kenyataan yang terjadi dengan menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dalam rumah tangga seperti dalam ayat tadi. Ketentuan ayat 34 surat al-Nisâ diperkuat oleh firman Allâh: “Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya”.
Karena perbedaan itulah maka al-Qur’ân memberi hak dan kewajiban masing-masing secara berbeda. Namun yang perlu ditekankan, pembedaan tersebut bukanlah diskriminasi dan wujud ketidakadilan, tetapi justru agar tercapai keseimbangan dan keharmonisan dalam menjalani bahtera rumah tangga. Dalam membedakan hak dan kewajibannya, Islam tidak memihak pada pihak laki-laki dengan menekan pihak perempuan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân: “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”.
Sebagai yang dipimpin, perempuan wajib menaati pihak yang memimpinnya, yaitu laki-laki. Dia wajib patuh dalam segala hal selama bukan perintah yang sifatnya menyuruh terhadap kemaksiatan. Dia juga harus hormat, patuh, dan tunduk pada suaminya sebagaimana yang tercermin dari haditst nabi, seandainya aku memerintahkan seorang sujud pada orang lain, niscaya aku memerintahkan istri sujud pada suaminya (HR Tirmidzi dll). Laki-laki sebagai yang memimpin dan harus dipatuhi, dia tidak boleh menindas istrinya dan berbuat semena-mena, tetapi harus bersikap baik kepadanya. Allâh berfirman: “Dan gaulilah istri-istrimu dengan cara yang baik”
Dalam kehidupan rumah tangga, Islam sangat melindungi perempuan, hal ini dapat kita lihat misalnya dalam haditst nabi: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istri dan anak perempuan” (HR Baihaqi dari Abi Hurairah). Bahkan dengan tegas Nabi menyatakan bahwa suami yang semena-mena terhadap istrinya akan dibalas oleh  Allâh dengan siksa neraka. Nabi shallallâhu ‘alahi wa sallam, bersabda, “Ketahuilah, aku kabarkan kepada kalian tentang ahli neraka, yaitu laki-laki yang keras hati, kasar, sombong, suka menyakiti Istrinya, yang bakhil, yang terlalu banyak melakukan hubungan seks”.
Dalam masalah hak, perempuan juga sangat dimanjakan dan diperhatikan kesejahteraannya oleh al-Qur’ân. Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 123 Allâh berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.”
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang ibu mempunyai hak-hak pribadi yang tidak berkaitan dengan statusnya sebagai istri.
Demikianlah, al-Qur’ân telah menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga serta menentukan hak dan kewajiban kepada masing-masing secara adil, proporsional dan seimbang meski tidak sama. Al-Qur’ân juga ternyata lebih dini dan lebih dulu dalam menghormati kedudukan perempuan bila dibandingkan dengan hukum-hukum lain di berbagai negara, terutama Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dimuat ketentuan bahwa seorang perempuan yang telah mempunyai suami tidak boleh melakukan perjanjian tanpa izin suaminya.
Ketentuan ini sempat berlaku untuk waktu yang lama sampai pada tahun 1963, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat  Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.03/1963. SEMA tersebut memfatwakan agar semua ketentuan KUHPer tentang kedudukan perempuan tidak diberlakukan lagi. Bandingkanlah dengan al-Qur’ân yang telah memberikan hak ini pada perempuan semenjak beberapa abad yang lalu dimana sama sekali belum ada yang namanya gerakan emansipasi perempuan.
Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Publik
Al-Qur’ân dalam khitob-nya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara umum dapat dikatakan telah menempatkan perempuan pada posisi yang seimbang dengan laki-laki. Tidak seperti pada kehidupan rumah tangga di mana hak dan kewajiban masing-masing dibedakan secara tajam, dalam kehidupan bermasyarakat hak dan kewajiban keduanya tidaklah begitu berbeda. Keduanya sama-sama dihormati kedudukannya oleh syara’, dilindungi, dan dibebani kewajiban yang sama.
Sebagaimana laki-laki, perempuan berhak untuk mendapatkan hasil usaha mereka, sesuai firman Allâh, “Bagi laki-laki dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya”. (QS al-Nisâ [4]: 32).
Perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat dengan cara amar ma’ruf nahi munkar, meski caranya berbeda. Dalam surat Ali-Imrân [3] ayat 110, “Kamu adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar”.
Jadi, al-Qur’ân pada dasarnya memandang laki-laki dan perempuan sebagai subyek hukum (penyandang hak dan kewajiban) dalam masyarakat pada posisi yang setara. Pembedaan keduanya baru terjadi ketika pembicaraan  mengenai hak dan kewajiban mereka menginjak pada tatanan bagaimana caranya masing-masing untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikannya
Al-Qur’ân menetapkan peraturan-peraturan yang membuat laki-laki lebih leluasa bergerak dan berekspresi dibanding perempuan. Pada saat berinteraksi dengan publik, perempuan lebih terikat oleh batasan-batasan syara’. Dalam surat al-Ahzâb [33] ayat 33 misalnya, Allâh berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”.
Ayat ini sering kali dijadikan dasar pendapat pada ulama yang mengatakan bahwa kehidupan perempuan adalah pada wilayah domestik (keluarga) dan bukannya di wilayah publik (berinteraksi secara langsung dengan masyarakat umum). Al-Qurthubi  yang dikenal sebagai pakar tafsir  bidang hukum menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntutan-tuntutan agar perempuan-perempuan tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Al-‘Arabi dan Ibn Katsir meskipun Ibn Katsir sedikit lebih moderat, yaitu boleh keluar rumah jika ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.
Untuk konteks saat ini, pendapat yang kiranya paling relevan adalah apa yang diungkapkan oleh Abu al-A’la al-Maudûdi. Perempuan boleh-boleh saja keluar rumah jika ada keperluan sepanjang memperhatikan kesucian diri dan memelihara rasa malu. Sayyid Quthb menyatakan bahwa perempuan tidak dilarang oleh Islam untuk bekerja hanya saja Islam tidak senang (mendorong) hal tersebut.
Berdasarkan ayat di atas dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan perempuan seperti ayat tentang aurat, gerak perempuan menjadi lebih terbatas bila dibanding pria. Apalagi kalau mengikuti pendapat sementara ulama yang mengatakan bahwa suara perempuan di depan publik adalah aurat, peran perempuan untuk tampil dalam kehidupan publik jelas sangat terbatasi.
Selain itu, masalah kepemimpinan perempuan sampai saat ini masih menjadi perdebatan terus menerus. Berkaitan dengan masalah ini, ulama terbagi kedalam tiga kelompok pendapat:
1.      Mereka yang tidak memperbolehkan peran perempuan dalam jabatan-jabatan publik apapun bentuknya. Hujjah yang mereka kemukakan adalah surat al-Nisâ [4]: 34, “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) antar sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”
Walaupun ayat ini diturunkan untuk konteks keluarga, namun mereka menarik pemberlakuan ayat ini ke wilayah publik berdasar qôidah mafhûm aulawiy. Dari situlah mereka lalu berkesimpulan: kalau untuk skala kecil (keluarga, rumah tangga) saja perempuan harus dipimpin laki-laki, apalagi untuk skala besar (urusan publik) yang mencakup wilayah tanggung jawab yang lebih besar. Lalu mereka memperkuat hujjah dengan haditst, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan”
Dalam menarik hukumnya, mereka tidak begitu mempertimbangkan asbabun nuzul ayat maupun asbabul wurud hadits di atas, karena mereka memakai kaidah ushul fiqh“Penarikan hukum berdasarkan pada umumnya lafaz, bukan khususnya sebab”
Pendapat ini adalah pendapat para ulama seperti al-Qurthubî, al-Zamakhsyari, al-Râzi, Ibnu Katsîr, serta ulama-ulama salaf dan sampai saat ini masih menjadi pendapat jumhur ulama.
1.      Mereka yang memperbolehkan perempuan memegang jabatan publik tertentu asalkan bukan kepala negara. Hujjah mereka adalah surat al-Taubah [9] ayat 71: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah sesuatu  kewajiban yang mencakup berbagai cara perjuangan, diantaranya dengan terlibat dalam kehidupan politik masyarakat. Diantara ulama golongan kedua ini adalah Sa’id  Ramadhan al-Bûthi. Ulama yang dikenal serba bisa dan sangat teguh memegang ajaran salaf ini berpendapat bolehnya perempuan menjadi anggota legislatif, tetapi tidak boleh menjadi kepala negara (al-Imâmah al-Kubrô).
1.      Mereka yang membolehkan perempuan memegang jabatan publik apapun secara mutlak asalkan memenuhi kualifikasi dan mampu menjaga kehormatan. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Said ‘Aqil al-Munawar, Quraisy Shihab, Hussein Muhammad, dan semua pemikir-pemikir Islam Liberal.
Agaknya untuk saat ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat  yang kedua, yaitu yang membolehkan perempuan memegang jabatan-jabatan publik tertentu, tetapi tidak menjadi kepala negara. Alasannya fakta di lapangan menunjukkan bahwa ternyata banyak para perempuan yang mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu melebihi kaum laki-laki. Selain itu, bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Umar bin Khaththâb pernah menugaskan seorang perempuan untuk menjadi bendahara pasar, sebagaimana dikatakan Ibn Hazm. Khusus untuk jabatan kepala negara perempuan tidak boleh memegangnya. Alasannya bukan hanya kerena hadits Nabi saja, akan tetapi didukung juga oleh analisis dari sudut pandang hukum dan psikologis.
Memang benar bahwa hampir di setiap negara modern saat ini kepala negara bukanlah penentu segalanya dan satu-satunya pembuat keputusan kenegaraan (decision maker). Kekuasaan dalam suatu negara telah dibagi-bagi menurut azas pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Yang perlu diingat, keadaan seperti ini hanya berlangsung pada saat negara dalam keadaan normal. Akan tetapi, apabila negara berada dalam keadaan yang sangat kritis, dan hal ini sangat mungkin terjadi kapanpun, maka berlakulah hukum darurat negara (staatsnood recht) yang membuat kepala negara akan meningkat perannya secara drastis. Pada saat itulah, kepala negara sebagai orang nomor satu di negara bersangkutan akan memiliki peran yang sangat vital dalam menentukan keselamatan negara. Apalagi di negara seperti Indonesia di mana Kepala Negaranya secara otomatis menjabat juga sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Pasal 10 Amandemen Keempat UUD 1945), peran Kepala Negara jelas sangat menentukan dalam menangani keadaan. Penanganan keadaan dalam kondisi yang seperti ini menuntut adanya kepala negara yang berjiwa besar, punya ketegasan, keberanian dan kondisi psikologis yang mantap serta stabil sehingga mampu berpikir jernih, cepat dan tepat serta akurat. Secara psikologis, perempuan tidak akan mampu menyelesaikan tugas berat itu dengan baik melihat kondisinya yang halus, lemah dan labil.
Begitulah, al-Qur’ân pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban pada perempuan dalam kapasitasnya sebagai anggota  masyarakat sama dengan apa yang diberikan  kepada laki-laki. Akan tetapi, karena perbedaan kondisi mereka, maka cara mewujudkannya ditentukan berbeda oleh Al-Qur’ân.
Oleh karena itu, perempuan tidak boleh untuk menarik diri, acuh dan tidak mau berinteraksi dalam kehidupan publik dengan alasan dirinya terikat oleh aturan-aturan. Dia tetap punya kedudukan sama dengan laki-laki meski cara aktualisasinya berbeda. Perempuan juga tetap wajib peduli, memikirkan dan respek dengan permasalahan sosial di sekitarnya. Hadits Nabi mengatakan: “Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Haditst nabi ini tertuju untuk umum, laki-laki maupun perempuan, sehingga keduanya harus mau terlibat urusan-urusan yang publik. Selain itu, Al-Qur’ân juga mengajak agar umatnya selalu bermusyawarah dalam memutuskan segala sesuatu, melalui pujian Tuhan pada mereka: “Urusan mereka selalu diputuskan dengan musyawarah” (QS al-Syura [42]: 38).
Bukankah ayat ini ditujukan tidak hanya untuk golongan laki-laki saja, tetapi perempuan juga termasuk? Oleh karena itulah, perempuan jelas punya hak dan memang harus ikut memikirkan urusan-urusan publik.
Ikhtitâm
Al-Qur’ân dalam masalah derajat kemanusiaan telah mendudukkan perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Kedudukan, hak dan kewajibannya hampir bisa dikatakan sama. Namun karena keduanya diciptakan oleh Tuhan dengan karakter fisik dan psikis yang berbeda, al-Qur’ân kemudian membedakan fungsi, peran dan tugas masing-masing, baik dalam wilayah domestik maupun publik.
   Pembedaan ini dilakukan agar antara keduanya dapat bekerja sama, saling melengkapi satu sama lain dan tolong menolong demi terciptanya keharmonisan hidup. Berbedanya tugas, fungsi dan peran masing-masing sebagaimana telah ditentukan oleh syara’ sama sekali tidak bisa dianggap sebagai diskriminasi dan dan kemudian diartikan lebih mulianya salah satu dibanding yang lainnya. Bukankah Rasûlullâh sendiri dengan tegas menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan  dengan menyebut kaum perempuan sebagai Syaqâ’iq al-Rijâl(saudara sekandung kaum laki-laki).
   Jelaslah, al-Qur’ân ternyata sangat adil dalam memandang perempuan. Al-Qur’ân juga sangat bijak dalam menempatkan posisi perempuan sesuai tabiatnya dan sangat memanjakannya. Maka sangat tidak layak apabila masih ada perasaan iri antara satu sama lain. Allâh berfirman dalam surat al-Nisâ’ [4]: 32, “Dan janganlah kamu iri hari terhadap apa yang dikaruniakan Allâh kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian kamu lebih banyak dari sebagian mereka. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.