Sabtu, 21 Desember 2013

PILIHAN YANG MEMBATIN


Darah panas terasa mengalir dalam tubuhku, menjelajahi pembuluh arteri bahkan sampai ke pembuluh vena ku. Dia seakan ikut terbawa arus panas yang menggrogoti bumi. Bahkan kurasakan ia tak secerah warna aslinya, berubah menjadi merah maron. Yang kebanyakan orang mengatakan itu darah yang tidak baik, atau darah kotor bahkan suku adat di pelosok papua mengatakan itu darah kutukan. Mungkinkah ia hanya ingin beradaptasi dengan tubuh yang kini ia aliri. Tubuh yang tak lagi menyimpan secercah kesucian. tubuh yang mulai gentar melawan arus kehidupan yang selalu tak memihaknya.
“Fly, bangun !!! jam berapa ini ? sudah waktunya mandi sayang dan siap-siap untuk berangkat !....seorang perempuan paruh baya menghentakkan lamunanku, perempuan yang tak pernah lelah mengingatkanku tentang system kehidupan yang teratur sedemikan rupa. Perempuan itu adalah ibuku. Perempuan yang sangat ku sayang dan sekian lama berjuang sendiri untuk membesarkanku setelah ayah meninggalkan dunia ini.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi, aku mulai membasuh setiap anggota tubuhku menurut ajaran yang kuketahui. Kenapa air pun terasa tak mampu menyegarkanku, apakah karna panas darahku membuat tubuhku panas. Namun aku tetap menjalankan semuanya seperti biasanya. Yah seperti biasanya.
“kamu itu sudah baliq, sudah bukan waktunya lagi di ingatkan. Ini untuk kebaikan kamu nantinya di akhirat “, sudah tak terhitung kata-kata itu terngiang di telingaku. Tapi aku tak pernah merasa bosan bahkan aku menganggapnya hiburan kata.
(“kucinta dirimu, setulusnya. Sungguh cintaku takkan pernah terbagi yang lain. Kucinta dirimu….”)
Lantunan lagu dari ponselku,,,
“ halo, sekarang dimana ? ” suara lirih yang seakan dipaksakan menembus gendang telinga dan sampai pada saraf otakku.
“iye’ aku sementara menunggu mobil jemputan tapi nanti aku harus mampir di rumah Ryan mengambil biolaku yang tertinggal”. Aku juga membalasnya dengan suara lirih yang terpaksa.
“tak usah, nanti aku yang mengambilnya”.
”iya”, aku tak ingin bicara panjang lebar lagi, cukup itu agar ia berhenti berbicara. Kututup telponnya, karna suara klakson mobil yang menjemput sudah berbunyi.
“jaga diri baik-baik sayang”. Ini juga kata-kata ibu yang sudah tak terhitung terngiang di telingaku.
***
Mobil yang kutumpangi mulai berangsur pergi, jalan raya yang di lewatinya pun seakan tanpa hambatan. Penumpang pun tak berdesakan, perjalanan menjadi nyaman di temani lantunan lagu-lagu bugis Makassar. Ah itu mungkin bagi penumpang lainnya, tapi bagiku tidak, aku seakan merasa semakin dekat dengan pilihan yang mungkin akan mengubah hidupku. Ataupun mungkin akan menjadi inspirasi hidupku. Entahlah, biarlah pilihan itu yang menjawabnya
Seorang pemuda mengajakku bercengkrama,  mungkin ini bisa sedikit membuatku lupa pada pilihanku.
“hai apa boleh kita kenalan, nama kamu siapa ?”, dia menyodorkan sekotak kue padaku, yang kalangan masyarakat bugis Makassar menamakannya cucuru jintang. Rasanya memang beda dengan kue kebanyakan, paduan gula merah dan santan kelapa yang di buat menyerupai elips kecil.
Kuraih sebiji demi sebiji kue itu, rasanya memang manis dan gurih tapi mengapa terasa panas di tenggorokan dan lidahku. Ah ternyata indra perasaku pun terbawa arus panasnya tubuh dan darahku.
“makasih banyak, panggil saja fly”, dengan singkat aku menjawabnya. Yah kebanyakan teman-teman memanggilku fly, bahkan keluargaku pun ikut memanggilki fly sekalipun itu bukanlah nama asliku. Fly…di adaptasi dari kata butterfly yang artinya kupu-kupu. Aku memang sangat fanatic pada kupu-kupu. Bukan karna keindahan warna sayapnya, bukan karna kelihaiannya terbang tapi karna kemampuannya bermetamorfosis. Mulai dari ulat kemudian menjadi kepompong hingga akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah. Ulat yang kebanyakan orang tak menyukainya karna rasa gatal yang ia tinggalkan setelah menyentuhnya. Kepompong yang sebagian orang pula yang tak menyukainya karna bentuk dan rupanya yang menjijikkan. Tapi orang-orang itu mungkin tak menyadari jika ulat-kepompong itu akan berubah menjadi kupu-kupu yang sampai saat ini tak satu pun orang tak menyukainya, itu menurut pengamantanku.
  (“kucinta dirimu, setulusnya. Sungguh cintaku takkan pernah terbagi yang lain. Kucinta dirimu setulusnya hatiku, hingga saat….”), ponselku kembali berdering.
Suara lirih kembali terdengar di seberang sana, “sekarang dimana ?.
“sudah dekat”
“kabari aku kalo sudah sampai”
“iya”, kembali kumenjawabnya dengan singkat. Mungkin kemarin aku selalu menyalahkan pemerintah yang lamban menangani jalan rusak yang membuat perjalanan ke Makassar terasa lama, tapi kini aku kembali menyalahkannya karna jalanan yang mulus ini membuat perjalananku terlalu cepat untuk menghadapi pilihanku.
***
 malam hari
“mau di antar ke kos dek ?” sopir mobil kembali menghentakkan lamunanaku.
“tak perlu, nanti ada teman yang menjemputku”. Aku menjawabnya sembari melangkah meninggalkan mobil yang kutumpangi tadi.
(sekarang aku di terminal, kutunggu di pintu masuk saja) sebuah pesan singkat kukirimkan ke ponselnya.
Hanya berselang 10 menit dia pun muncul dihadapanku, aku bergegas naik di motornya sebelum ada orang terdekat kami yang melihatnya.
“lapar ?? kita mampir dulu untuk makan yah ! setelah itu kita langsung ke rumah sakit”. suaranya sudah tak terdengar lirih lagi.
“iya, tapi bukannya aku tak boleh makan sebelum operasi ?”
“oh, iya berarti temani aku saja”
***
Aku dan dia tiba di sebuah rumah sakit yang sebenarnya tak terlalu mewah dan megah tapi minimalis menurut arsitek. Tepat di pintu rumah sakit itu, aku merasa tambah panas. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tidak !!!bukan perasaanku tapi ada sesuatu yang bergejolak dalam diriku. Ada jasad tak beruh dalam tubuhku yang mungkin bergejolak. Tanpa ruh ??? tidak bagiku, bagiku sedetik saat dia tumbuh dia telah beruh.
“Operasi ini tidak akan sakit sayang, ini adalah pilihan tepat yang kita ambil. Bukan aku tak mau bertanggung jawab, tapi ini untuk masa depan kita berdua. Aku adalah orang yang sangat mencintaimu, dan saya tak ingin melihat hidupmu seperti ini apalagi keluargaku tidak merestui hubungan kita. Kau harus sukses dan bahagia. Lagi pula janin itu belum memilki ruh sayang.” kembali dia berucap dengan  meyakinkan.
Ruh ??? siapa bilang dia tak beruh. Bagiku Tuhan telah menyiapkan ruh untuk setiap janin, hanya saja Tuhan memberikan tenggang waktu pada setiap ruh sebelum dia dihembuskan ke jasadnya. Tuhan memberi ujian pada orang tua janin, sanggup atau bersediakah mereka menerimanya. Sedangkan kami, tidak bersedia menerimanya. Kami memutuskan haknya untuk hidup hanya karna keegoisan hidup yang menuntut teratur seperti aturan masyarakat.
Lampu ruang operasi mulai di nyalakan, kulihat beberapa orang berpakaian serba putih mulai mengambil gunting, pisau dan lainnya. Ah aku seperti daging kurban saja. Seorang dokter menyuntikkan sesuatu di bokongku, dan perlahan tatapanku mulai gelap dan sangat gelap.
Aku kini berada di sebuah taman yang di penuhi pohon akasia, bunga mawar, asoka, kamboja, dan di dominasi bunga lili. Semua merekahkan kuncupnya, seakan menyambutku datang. Gerombolan kupu-kupu pu beterbangan di sekelilingku, mereka memarkan sayap indahnya. Bukankah taman inilah yang akan kubuat bersama lili nantinya. Tiba-tiba seorang anak perempuan menghampiriku. Dia sangat cantik dan kulihat wajahnya begitu mirip dengan Zay. Dia memeluk dan memegang tanganku.
“ibu, bukankah ibu ingin bermain bersamaku di taman ini. Maaf ibu, tamannya belum sempurna mungkin lili masih perlu menatanya lagi” suara manisnya membuatku meneteskan air mata. Yah aku sangat bahagia bisa bersamanya. Kami kemudian bercerita panjang tentang masa depan taman ini, berlari mengejar kupu-kupu untuk menangkapnya. kami bermain bersama dengan bahagia. Tapi tiba-tiba awan terlihat gelap, sangat gelap. Kabut mulai menghampiri taman kami. Aku menggenggam tangannya, sangat erat. Mengajaknya berjalan meninggalkan taman itu.
“tidak ibu, lili akan tetap disini. Di taman ini bersama bunga, pohon dan kupu-kupu. Maaf aku tak bisa ikut dengan ibu”, dia kemudian melepaskan peganganku dan berjalan menjauhiku. Tidak...kenapa kakiku terasa menjadi batu tak mampu bergerak meraihnya lagi…kulihat dia berlari menjauh dariku, masuk ke kawanan kabut dan sekejap dia hilang dari tatapanku. Kabut mulai menghampiriku, membawaku ke ruang yang gelap dan perlahan akupun tak bisa melihat apa-apa lagi
. **
Aku membuka mataku perlahan-lahan, kuterawang benda-benda yang ada di sekitarku. Ku tatap wajah seseorang di hadapanku. Sosok yang selama ini kucintai, yang menemani hari-hari ku. Mewarnainya dengan canda dan tawa. Mengajarkanku tentang cinta yang sebenarnya. Tapi ternyata dia pula yang mengajarkanku tentang keegoisan hidup. Tapi ini adalah pilihanku juga, aku tak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Akulah yang turut andil besar dalam pilihan ini.
“bagaimana perasaanmu ?”, tanyanya dengan setetes air mata.
“kenapa aku ada disini?”. Aku memberanikan diri bertanya padanya.
“setelah operasi semalam, kamu tidak sadarkan diri mungkin terlalu lelah jadi perawat membawamu ke ruang pasien agar kau bisa istirahat, tapi operasinya berhasil sayang ?”
Perih dan perih rasanya. Tidak hanya ragaku tapi hatiku pun terasa perih. Mungkin di atas sana dia meronta-ronta karna aku telah menolaknya hidup sebagai anakku. Lalu dia, orang yang beribu kali mengucap kata cinta padaku, tidakkah ia merasakan sakit yang kualami. Tidak kah ia bertanya tentang perasaanku yang sebenarnya…tidak…tidak…tidak….!!
Ah kenapa aku harus kembali ke tempat ini, lebih baik aku tetap di taman itu bermain bersamamnya. Maafkan ibu, bukannya ibu tak menyayangimu tapi ibu mencintai ayahmu. Ternyata tak hanya darahku, tubuhku, lidahku yang panas tetapi hatikupun panas.

Bulukumba, November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar